Masa Depan Media, Televisi Berubah dan Disrupsi Digital Akan Dimulai
Menurut saya tidak, Indonesia belum sepenuhnya mengarah ke media digital, bahkan era disrupsi sesungguhnya baru saja dimulai. Kemunculan internet dan perkembangan media online yang marak membuat media digital digadang-gadang sebagai penguasa audiens. Kalau dari saya lihat realita dulu, sekarang ini TV tetap nomor satu. Digital belum melewati TV dari segi audiens atau revenue. Bukan televisi disalip media digital tetapi dua-duanya pakai, ads-nya memang sudah sebagian sudah diambil.
Benarkah sekarang kita sudah benar-benar mengarah ke media digital dan meninggalkan televisi? Hal tersebut menjadi pembuka diskusi sesi "The Future of Media and Communication" di panggung Visionary Leaders dalam acara Indonesia Millennial Summit 2020 yang diselenggarakan IDN Times pada 17-18 Januari.
Anggapan ‘kematian’ televisi ini dibantah oleh Founder and CEO IDN Media Winston Utomo. Menurut Winston, media digital masih jauh dari untuk bisa menggeser atau menggantikan posisi puncak yang saat ini dipegang televisi.
“Kalau dari saya lihat realita dulu, sekarang ini TV tetap nomor satu. Digital belum melewati TV dari segi audiens atau revenue,” kata Winston di The Tribrata, Jakarta, Sabtu (18/1).
Hadir di panggung yang sama, Managing Director Of Nielsen Indonesia Agus Nurudin sepakat dengan pendapat Winston. Ia memaparkan data bahwa televisi tidak benar-benar ditinggalkan. Hal itu terlihat pada porsi iklan di mana televisi masih mendominasi sekitar 60 persen sedangkan media digital 20 persen.
“Bukan (televisi) disalip (media digital) tetapi dua-duanya pakai, ads-nya memang sudah sebagian sudah diambil. Harus diakui bahwa manufacturing saat ini kalau yang global company direction-nya sudah mengarah 20 persen dari media spending-nya ke arah digital, kalau lokal belum tentu yah. Tapi kalau kita bicara average kira-kira 10 sampai 15 sudah masuk ke sana (digital),” kata Agus.
Banyak anggapan televisi di Indonesia akan menyusul ‘kematian’ media cetak seperti koran atau majalah. Kemunculan internet dan perkembangan media online yang marak membuat media digital digadang-gadang sebagai penguasa audiens.
Benarkah sekarang kita sudah benar-benar mengarah ke media digital dan meninggalkan televisi? Hal tersebut menjadi pembuka diskusi sesi "The Future of Media and Communication" di panggung Visionary Leaders dalam acara Indonesia Millennial Summit 2020 yang diselenggarakan IDN Times pada 17-18 Januari.
Anggapan ‘kematian’ televisi ini dibantah oleh Founder and CEO IDN Media Winston Utomo. Menurut Winston, media digital masih jauh dari untuk bisa menggeser atau menggantikan posisi puncak yang saat ini dipegang televisi.
“Kalau dari saya lihat realita dulu, sekarang ini TV tetap nomor satu. Digital belum melewati TV dari segi audiens atau revenue,” kata Winston di The Tribrata, Jakarta, Sabtu (18/1).
Hadir di panggung yang sama, Managing Director Of Nielsen Indonesia Agus Nurudin sepakat dengan pendapat Winston. Ia memaparkan data bahwa televisi tidak benar-benar ditinggalkan. Hal itu terlihat pada porsi iklan di mana televisi masih mendominasi sekitar 60 persen sedangkan media digital 20 persen.
“Bukan (televisi) disalip (media digital) tetapi dua-duanya pakai, ads-nya memang sudah sebagian sudah diambil. Harus diakui bahwa manufacturing saat ini kalau yang global company direction-nya sudah mengarah 20 persen dari media spending-nya ke arah digital, kalau lokal belum tentu yah. Tapi kalau kita bicara average kira-kira 10 sampai 15 sudah masuk ke sana (digital),” kata Agus.
1. Televisi berubah bentuk di era sekarang
Masa Depan Media, Televisi Berubah dan Disrupsi Digital Baru DimulaiIDN Times/Reynaldy Wiranata
Televisi tidak benar-benar ditinggalkan. Dalam laporan yang dikeluarkan We Are Social, masyarakat global memang kebanyakan menghabiskan waktunya untuk berselancar di internet dibanding menyaksikan televisi. Laporan yang dikeluarkan pada Januari 2020 ini melihat masyarakat dunia menghabiskan 6 jam 43 menit untuk internet dan 3 jam 18 menit untuk menyaksikan televisi.
Angka 3 jam 18 menit pun tidak murni benar-benar dari televisi, We Are Social memberikan catatan kaki bahwa angka tersebut juga mencakup konten TV streaming dan video on demand serta penggunaan perangkat selain televisi juga bisa terjadi.
“Jadi praktis mau sebentar mau lama sebenarnya generasi millennial nonton TV, cuma nontonnya lewat mana. Jadi cuma screen-nya saja yang berubah. Jadi mereka masih crosscheck yang namanya TV,” kata Agus.
Bagi SVP Head of Brand Management & Strategy Indosat Ooredoo Fahroni Arifin, televisi masih dinikmati pada segmen dan kelas tertentu masyarakat Indonesia.
“TV juga kalau pada segmen-segmen tertentu misalnya, rural, atau the second cities, third cities ya kita tetap harus ke TV. Karena itu reach-nya ya kita melihat datanya Nielsen ya, memang masih ada di sana (TV). Dan entah pada tahun berapa kita akan mencapai satu titik dimana TV itu memang porsinya lebih kecil dibanding digital,” kata Fahroni di panggung yang sama.
Lalu bagaimana televisi bisa bertahan di era digital sekarang ini?
Pembicara berikutnya di diskusi tersebut, CEO PT Visi Media Asia (Viva) Anindya Novyan Bakrie punya jawaban atas pertanyaan itu. Sebagai grup dengan dua media televisi di era digital ini, yakni ANTV dan tvOne, Anin menilai perusahaan televisi harus punya fokus. Untuk dapat bersaing, menurutnya, televisi harus menjadi penyedia konten dan mengkhususkan diri pada segmentasi tertentu, siapa audiens mereka.
"Kita lihat-lihat apa sih kelebihan kita, satu sisi kita bicara TV selama 30 tahun di Indonesia, mereka mengembangkan broadcaster dan content provider jadi membuat program dan menyalurkan program. Kita memilih ke depan harus fokus di content provider," kata Anindya.
"Kedua, kita harus pikir kita berdiri untuk apa, misalkan tvOne, we all news for the mass. ANTV, entertainment untuk perempuan antara 27 sampai 37. Jadi turunan nanti ya mengacu ke sana," sambungnya